Bagaimana rasanya menjadi Barista?
Pertama kali aku keterima kerja menjadi barista di salah satu coffee
shop terbesar di dunia, rasanya itu biasa aja. Serius!! Aku pikir
menjadi barista sama aja kayak bekerja di hotel-hotel. Oh iya, aku adalah
lulusan mahasiswa perhotelan di Pekanbaru, Riau. karena basic aku adalah
perhotelan, bagiku nggak terlalu sulit buat melamar dan masuk kerja di
Starbucks *tssah* *sombong*
Ternyata dunia Barista dengan dunia Hotel itu beda. Jauh. Banget. Kalau di
hotel sih kalau ada yang pesan kopi tinggal pencet tombol aja, keluar kopi lalu
sajkan ke tamu. Nah kalau disini nggak sesimpel itu. Ada yang namaya Beverage
Routin. Ada step-step yang nggak boleh terlewatkan kalau mau buat kopi. Belum
lagi pencet tombol-tombol yang aduhai gile anehnya bagiku. Bayangin aja, dalam
satu minuman (Cappucino misalnya) ada 3 ukuran yaitu Tall, Grande dan Venti.
Beda ukuran beda pula kuantitas kopi yang ditambahkan, belum lagi susunya atau
campuran syrup. nah gimana kalau ada 20 minuman? Gempor ya gempor deh sono.
Hahahahaahaha
Aku pikir menjadi barista hanya buatin kopi cantik-cantik ala syahrini,
lalu latte art, lalu tutup lalu sajikan ke customer, lalu pulang, lalu dapat
gaji, lalu beanja, lalu jalan-jalan, lalu ditaksir tante-tante *kejauhan om*.
Namun lebih dari itu. Iyah, lebih-darih-ituh. Kita juga ngelapin kaca pintu,
nyapu lantai, cuci piring dan yang paling penting harus selalu tampak bahagia
walaupun tadi pagi kita makan mie instan dikembangin. Niatku ngelamar kerja
disini supaya menghindari pekerjaan ngebabu di hotel, eeeh taunya dapat kerjaan
sama aja. Memang salah di niat. Tapi apalah daya yakan, nasi sudah menjadi
lontong. Apapun langkah yang sudah kita ambil harus dijalani dengan pesyien,
dengan hati.
Keuntungan menjadi Barista adalah susahnya menjelaskan ke orang tuaku apa
pekerjaan yang sedang aku jalani. Jadi orang tuaku pernah bertanya apa
pekerjaanku sebenarnya. Dengan sabar aku jawab “Barista, ayah”. Dan ayahku
bengong. Terdiam. Lalu lari-lari joget india. So, aku jelasin panjang lebar
pekerjaan aku, aku kasi pengertian yang lembut dan akhirnya ayahku bisa
mengerti dan berkata “ooooohhhh, warung kopi kayak tetangga kita itu. Tapi kok
gajinya bisa segitu? Emang yang punya warung kopi nggak bangkrut?”. Mendengar itu
aku langsung loncat dari tugu pancoran. Susah! Serius susah jelasin ke orang
yang masih awam soal pekerjaan.
Tapiiiii yang paling aku bahagiakan adalah aku punya teman yang asik
banget. Bukan Cuma mikirin kerjaan, disini juga aku bisa mikirin koneksi ke
customer. And finally aku mungkin akan bertahan disini untuk batas waktu yang
belum ditentukan. ^_^
Komentar
Posting Komentar